BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Akuntansi merupakan disiplin ilmu yang terus berkembang sesuai dengan kebutuhan para penggunanya. Tujuan akuntansi diarahkan untuk mencapai hasil tertentu, dan hasil tersebut harus memiliki manfaat. Akuntansi digunakan baik pada sektor swasta maupun sektor publik untuk tujuan-tujuan yang berbeda. Dalam beberapa hal, akuntansi sektor publik berbeda dengan akuntansi pada sektor swasta. Perbedaan sifat dan karakteristik akuntansi tersebut disebabkan karena adanya perbedaan lingkungan yang mempengaruhinya. Dalam waktu yang relatif singkat, akuntansi sektor publik telah mengalami perkembangan yang sangat pesat. Fenomena yang dapat diamati, dalam perkembangan sektor publik dewasa ini adalah semakin menguatnya tuntutan pelaksanaan akuntabilitas publik oleh organisasi sektor publik (seperti: pemerintahan pusat dan daerah, unit-unit kerja pemerintah, departemen dan lembaga-lembaga negara).
Tuntutan akuntabilitas sektor publik terkait dengan perlunya dilakukan transparansi dan pemberian informasi kepada publik dalam rangka pemenuhan hak-hak publik. Audit sektor publik merupakan salah satu bidang akuntansi sektor publik. Sebagai salah satu bidang, audit sektor publik lebih merupakan pilar. Apabila pilar itu runtuh, maka keberadaan akuntansi sektor publik pun akan dipertanyakan. Oleh sebab itu, keseriusan pengembangan akuntansi sektor publik baik ditingkat sistem maupun standar seharusnya diikuti dengan pengembangan audit. Selain itu, berbagai stagnasi politik yang terjadi dalam reformasi manajemen keuangan sektor publik akan dapat dipecahkan melalui implementasi opini audit, baik untuk pemeriksaan keuangan maupun pemeriksaan.
Selaras dengan amandemen UUD 1945 dan UU Keuangan Negara, Badan Pemeriksa Keuangan telah diperkuat posisinya sebagai salah satu pilar kehidupan bernegara. Pilar ini adalah auditor eksternal satu-satunya. Ini berarti, pilar audit sektor publik telah mendapatkan pengakuan yang tegas dan jelas dalam perundang-undangan .
Perkembangan bisnis sekarang menuntut adanya transparansi manajemen dalam mengelola perusahaan. Pihak manajemen harus menyajikan kondisi perusahaan secara jelas, baik secara finansial maupun operasional. Transparansi manajemen ini tidak lepas dari peran independen yaitu audit eksternal. Audit eksternal yang independen adalah akuntan publik dan akuntan pemerintah. Akuntan publik sebagai badan pemeriksa laporan keuangan perusahaan privat, sedangkan akuntan pemerintah dalam hal ini Badan Pemeriksa Keuangan sebagai Pemeriksa Perusahaan Publik atau Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Oleh karena itu perusahaan Indonesia dapat dipercaya masyarakat maupun investor jika sudah diperiksa laporan keuangan oleh akuntan.
Dalam tahun-tahun belakangan ini berbagai tuntutan dari masyarakat agar mendapatkan pelayanan yang baik merupakan suatu gejala yang sulit dihindari baik disektor pemerintahan maupun sektor swasta. Pada sektor swasta, mengingat sangat terbatasnya stakeholder, jelasnya produk yang dihasilkan, dan banyaknya perusahaan yang menyediakan barang dan jasa tingkat persaingan diantara perusahaan akan memacu perusahaan untuk dapat melayani stakeholdernya dengan baik. Lain hanya dengan sektor pemerintahan sebagai satu-satunya institusi yang memberikan pelayanan terhadap kebutuhan barang publik dan jasa publik, upaya pelayanan kepada para stakeholdernya relatif bersifat monopolistik, sehingga kesadaran dan upaya-upaya untuk memberikan pelayaan terbaik kepada publiknya agak tertinggal dibandingkan sektor swasta. Dalam rangka merespon apa sebenarnya yang diinginkan warganya, badan-badan ini sedapat mungkin melibatkan para stakeholder dalam merumuskan rencana strategisnya, terutama ketika mereka merumuskan misi organisasinya. Dengan demikian nampak adanya perubahan yang mendasar bagaimana pemerintah seharusnya melayani masyarakatnya (Tim Studi Pengembangan Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah BPKP,
Sistem akuntansi (accounting system) adalah metode dan prosedur untuk mengupulkan, mengklasifikasikan, mengikhtisarkan, dan melaporkan informasi operasi dan keuangan sebuah perusahaan. Sistem akuntansi berkembang melalui tiga langkah ketika perusahaan dan mengalami perubahan. Langkah pertama, Identifikasi kebutuhan dari pihak-pihak yang membutuhkan laporan keuangan dan penentuan bagaimana system akan menyajikan informasi tersebut. Langkah kedua, sistem akuntansi didesain (desaigned) sehingga mampu memenuhi kebutuhan para pengguna. Pada langkah terakhir, system akuntansi diterapkan (implemented) dan digunakan.
Pengendalian internal dan metode pengolahan data merupakan hal yang mendasar dalam sistem akuntansi. Pengendalian internal (internal control) adalah kebijakan dan prosedur yang melindungi aktiva perusahaan dari kesalahan penggunaan, memastikan bahwa informasi usaha yang disajikan akurat dan meyakinkan bahwa hukum serta peraturan telah diikuti. Tujuan pengendalian internal adalah memberikan jaminan yang wajar bahwa aktiva dilindungi dan digunakan untuk pencapaian tujuan usaha.
Pengendalian internal dapat melindungi aktiva dari pencurian, penggelapan, atau penempatan aktiva pada lokasi yang tidak tepat. Salah satu pelanggaran serius terhadap pengendalian internal adalah penggelapan oleh karyawan (employee fraud). pengendalian suatu perusahaan mencakup seluruh sikap manajemen dan karyawan mengenai pentingnya pengendalian yang faktornya antara lain dipengaruhi oleh falsafah dan gaya operasi manajemen. Selain itu, struktur organisasi usaha yang merupakan kerangka dasar untuk perencanaan dan pengendalian operasi juga mempengaruhi lingkungan pengendalian. Kebijakan personalia meliputi perekrutan, pelatihan, evaluasi, penetapan gaji, dan promosi karyawan juga mempengaruhi lingkungan pengendalian.
1.2 Rumusan dan Batasan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas dapat dirumuskan permasalahannya sebagai berikut :
1. Apakah kualitas pengendalian internal pada sistem informasi akuntansi yang terdapat pada BUMN Persero di kota Bandung telah memadai.
2. Bagaimana pengaruh kualitas pengendalian internal pada sistem informasi akuntansi terhadap keandalan audit trail dalam sistem informasi.
3. Bagaimana Peran Auditor dalam menghadapi krisis financial global.
1.3. Maksud dan Tujuan
Berdasarkan identifikasi masalahan tersebut di atas, maka penelitian ini dimaksudkan untuk mengumpulkan data yang diperlukan dalam meneliti pengaruh dari kualitas pengendalian internal pada sistem informasi akuntansi terhadap keandalan audit trail dalam sistem informasi. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh antara kualitas pengendalian internal pada sistem informasi akuntansi terhadap keandalan audit trail dalam sistem informasi pada perusahaan-perusahaan yang diteliti.
1.4 Manfaat Penulis
Penulisan ini diharapkan memberikan informasi yang berguna bagi:
1. Bagi penulis
Diharapkan untuk dapat melihat kualitas pengendalian internal pada sistem informasi akuntansi terhadap keandalan keandalan audit trail dalam sistem informasi bagi internal audit pada beberapa BUMN persero yang berada di kota Bandung dari segi penerapan disiplin ilmu yang penulis pelajari.
2. Bagi perusahaan
Diharapkan dapat menjadi masukan dalam merancang suatu pengendalian internal yang memadai pada sistem informasi akuntansi, dan pelaksanaan audit sistem informasi perusahaan.
3. Bagi pembaca
Diharapkan untuk melakukan penelitian lebih lanjut sehingga dapat memberikan hasil penelitian yang lebih mendalam, serta memberikan solusi yang tepat pada pokok permasalahan yang diteliti.
BAB II
PEMBAHASAN
Internal Control Culture
PP 60 tahun 2008 ini adalah langkah konkrit untuk membentuk built in control artinya pengawasan by system. Siapapun pemegang amanah birokrasi pemerintahan, maka dengan sendirinya sistem yang akan melakukan pengawasan guna mencapai visi, misi dan tujuan organisasi dalam arti sempit dan mencapai visi, misi dan tujuan bernegara dalam arti seluas-luasnya sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945, antara lain untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa, dan seterusnya.
Ketika internal control system yang dijabarkan dalam SPIP bekerja secara otomatis melakukan fungsi pengawasan, maka setiap insan birokrasi pemerintah suka tidak suka akan bekerja “under control”. Selanjutnya, apabila kondisi ini dipertahankan maka terciptalah internal control culture, artinya sistem pengendalian intern menjadi bagian dari budaya organisasi pemerintahan di Indonesia.
Upaya membudayakan SPIP tergambar dalam PP SPIP antara lain, dalam hal hal sebagai berikut:
1. Menjaring SDM yang capable dan berintegritas sebagai modal awal
Mengingat pentingnya SDM sebagai motor penggerak internal control, dalam pasal 10 PP ini kebijakan SDM sangat diperhatikan melalui penyusunan dan penerapan kebijakan yang sehat tentang SDM dengan memperhatikan penetapan kebijakan dan prosedur sejak rekrutmen sampai dengan pemberhentian pegawai, penelusuran latar belakang calon pegawai dalam proses rekrutmen serta supervisi yang memadai terhadap pegawai.
Hal ini selaras dengan pandangan yang mengatakan pentingnya the man behind the system. Secanggih-canggihnya suatu sistem, maka masih tergantung kepada siapa yang menjalankan sistem tersebut. Sistem yang handal bisa rusak oleh beberapa gelintir orang yang menjalankan sistem tersebut. Contoh sudah cukup banyak, salah satunya adalah pelelangan proyek-proyek pemerintah, yang notabene sudah dipayungi peraturan, sistem dan mekanisme kerja yang rinci, namun tetap saja terjadi “sandiwara lelang”, mark up, kualitas pekerjaan yang rendah, kebocoran di sana-sini, dan sebagainya oleh orang-orang dalam birokrasi pemerintahan sendiri. Upaya merekrut orang-orang yang berkemampuan baik dan memiliki integritas diharapkan mampu menjaring good man untuk menjalankan good system. Internal control culture hanya dapat tercipta oleh orang-orang yang memang memiliki integritas serta komitmen yang kuat terhadap pencapaian visi, misi dan tujuan organisasi.
2. Budaya pengendalian intern melalui awareness akan pentingnya berbagai risiko
PP ini menekankan pentingnya penilaian risiko yang disajikan dalam Pasal 13 s.d.pasal 17 tentang penilaian risiko yang mewajibkan pimpinan instansi pemerintah untuk melakukan penilaian risiko yang mencakup identifikasi dan analisis risiko. Sebagaimana diketahui krisis dunia yang mendera perekonomian global tentu saja berdampak pada perekonomian dan pemerintahan di Indonesia pada umumnya termasuk munculnya berbagai risiko dalam birokrasi pemerintahan. Langkah antisipatif sekaligus proaktif menyikapi dampak krisis harus diambil dengan menerapkan manajemen risiko dalam setiap pengambilan keputusan, jika tidak ingin gagal dalam menjalankan visi, misi dan tujuan organisasi. Dengan pasal ini, setiap Kementerian/lembaga (K/L) sudah harus mengidentifikasikan dan memetakan berbagai risiko yang dihadapi, melakukan analisis seberapa mungkin risiko tersebut bakal terjadi, sekaligus melakukan action plan untuk mengatasi jika risiko tersebut benar-benar terjadi. Departemen Kehutanan, misalnya, sudah saatnya melakukan langkah-langkah konkrit untuk mengatasi risiko kebakaran hutan, risiko pembalakan liar, risiko perusakan hutan sebagai hutan lindung,dsb. Membudayakan manajemen risiko dalam manajemen pemerintahan adalah salah satu bagian membudayakan sistem pengendalian intern pemerintah di Indonesia.
3. Meningkatkan kualitas proses pengawasan sebagai bagian dari upaya meningkatkan budaya pengendalian intern
pengawasan lintas sektoral serta koordinasi antar instansi pemerintah PP ini mengangkat ide baru dalam mekanisme proses pengawasan yakni pengawasan terhadap akuntabilitas keuangan negara atas kegiatan yang bersifat lintas sektoral serta perlunya koordinasi antar instansi pemerintah.
Selama ini, pemeriksaan cenderung “selesai” pada tataran sektoral artinya setelah diaudit oleh inspektorat di level masing-masing dianggap permasalahan sudah selesai. Padahal beberapa permasalahan yang mengemuka di suatu K/L seringkali terkait dengan beberapa K/L yang lain. Sebagai contoh permasalahan angka kemiskinan dan pengangguran yang belum kunjung surut merupakan permasalahan strategis nasional yang terkait dengan beberapa K/L. Belum lagi masalah ketahanan pangan tentu juga melibatkan beberapa K/L yang saling terkait. Inilah perlunya pengawasan lintas sektoral yang belum tersentuh selama ini serta perlunya koordinasi integrasi, dan sinkronisasi antar K/L terkait. Diharapkan, pengawasan terpadu lintas sektoral ini semakin menyadarkan pada pimpinan instansi pemerintah untuk tidak simplify permasalahan sehingga mengabaikan akar permasalahan secara nasional. Bisa jadi permasalahan yang muncul di suatu K/L adalah fenomena “gunung es” yang ternyata muncul di seluruh K/L.
Kualitas proses pengawasan yang lebih baik secara langsung akan meningkatkan kualitas pengendalian intern dan pada gilirannya budaya pengendalian intern juga akan meningkat seiring dengan peningkatan kesadaran birokrat pemerintah terhadap hadirnya pengawasan yang holistis, integral dan bersinambungan. Pengawasan lintas sektoral yang efektif serta adanya koordinasi yang baik akan membangkitkan internal control culture di lingkungan instansi pemerintah.
Kedua, peningkatan mekanisme proses pengawasan Laporan Keuangan
Spirit PP SPIP untuk meningkatkan kualitas proses pengawasan terjabar dalam Pasal 57, yakni masing-masing inspektorat baik di level Pemerintah Daerah maupun di tingkat K/L wajib melakukan review secara internal sebelum diaudit oleh pihak auditor eksternal. Secara teoritis, ini baik sekali untuk peningkatan laporan keuangan sekaligus pada gilirannya akan meningkatkan internal control culture dalam birokrasi pemerintahan di Indonesia.
4. Pembinaan penyelenggaraan SPIP
Sebagai upaya “membumikan” SPIP, PP ini juga mewajibkan BPKP sebagai Auditor Presiden untuk melakukan pembinaan penyelenggaraan SPIP meliputi penyusunan pedoman teknis, sosialisasi, pendidikan dan pelatihan SPIP, termasuk pembimbingan dan konsultansi serta peningkatan kompetensi auditor APIP, sebagaimana dinyatakan dalam pasal 59. SPIP yang baru terbit dan belum genap 6 bulan tersebut, tentunya perlu dilakukan sosialisasi/diseminasi tidak hanya ke dalam lingkungan Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) namun juga ke seluruh komponen pelaku manajemen pemerintahan, tanpa terkecuali. Justru para key persons dalam penyelenggaraan pemerintahan harus “melek” SPIP untuk melindungi agar tidak terjerumus ke dalam salah urus manajemen atau bahkan “terpeleset” ke ranah Tindak Pidana Korupsi.
Melalui komitmen dan upaya nyata menerapkan SPIP secara konsisten dan berkesinambungan, kiranya SPIP menjadi suatu kebutuhan dan bahkan suatu budaya. Masing-masing pihak akan dengan senang hati menjalankan sistem pengendalian ini dan tunduk pada “built in control” yang ada di dalam sistem ini. Efektivitas SPIP sangat ditentukan oleh berhasil tidaknya SPIP menjelma menjadi internal control culture organisasi pemerintahan di Indonesia guna menciptakan good governance dan clean government.
Posisi Auditor Internal
Posisi auditor internal (satuan pengawasan intern) di lingkungan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) telah diatur dalam UU No. 19 tahun 2003 tentang BUMN. Selain itu juga diatur dalam SK Menteri BUMN No. 117/M-BUMN/2002 tentang Penerapan GCG di BUMN. Sedangkan untuk perusahaan publik telah diatur melalui Keputusan Ketua Bapepam-LK Nomor : Kep-496/BL/2008 tanggal 28 Nopember 2008 tentang pembentukan dan pedoman penyusunan piagam Unit Audit Internal. Sarbanes Oxley Act (2002) memberikan kewenangan akses yang lebih luas kepada Departemen Audit Internal. Berdasarkan aturan (regulasi) tersebut, saat ini posisi auditor internal di Perusahaan merupakan pilar penting dan salah satu faktor kunci sukses (key success factor) dalam sistem pengendalian manajemen (management control system) agar pengelolaan perusahaan dapat berjalan sesuai prinsip–prinsip GCG.
Peran Auditor Internal
Mengingat dampak KFG sangat mempengaruhi kelangsungan usaha (going concern) serta dapat menurunkan kinerja perusahaan, maka auditor internal tidak boleh hanya berpangku tangan saja menjadi penonton, namun diharapkan dapat turut serta secara aktif membantu manajemen meminimalisasi dampak KFG yang mungkin timbul di perusahaan. Paling tidak terdapat 3 (tiga) peran yang dapat dilakukan oleh auditor internal dalam menghadapi dampak KFG sbb :
1. Mendorong terwujudnya GCG secara efektif.
Meskipun GCG bukan satu-satunya faktor yang menentukan dalam reformasi bisnis, namun komitmen perusahaan terhadap iplementasi prinsip-prinsip GCG merupakan salah satu faktor kunci sukses (key succes factor) untuk mempertahankan dan menumbuhkan kepercayaan para investor (terutama investor asing) terhadap perusahaan di Indonesia. GCG saat ini sedang menjadi trend dan isu sentral di kalangan bisnis. Berdasarkan hasil penelitian, terjadinya skandal bisnis (business gate), misalnya Enron, Worldcom, Tyco, Global Crosing dll ternyata salah satunya disebabkan prinsip-prinsip GCG tidak dijalankan secara sungguh-sungguh, konsekuen dan konsisten. Respon pihak Pemerintah, BUMN, perusahaan swasta maupun perusahaan multinasional sangat positif atas upaya mewujudkan GCG tersebut. Perusahaan yang tidak mengimplementasikan GCG, pada akhirnya dapat ditinggalkan oleh para investor, kurang dihargai oleh masyarakat (publik) dan, dapat dikenakan sanksi apabila berdasarkan hasil penilaian ternyata perusahaan tersebut melanggar hukum. Perusahaan seperti ini akan kehilangan peluang (opportunity) untuk dapat melanjutkan kegiatan usahanya (going concern) dengan lancar. Namun sebaliknya perusahaan yang telah mengimplementasikan GCG dapat menciptakan nilai (value creation) bagi masyarakat (publik), pemasok (supplier), distributor, pemerintah, dan ternyata lebih diminati para investor sehingga berdampak secara langsung bagi kelangsungan usaha perusahaan tersebut. Pada saat ini GCG sudah bukan merupakan hal yang perlu diperdebatkan lagi, melainkan sudah menjadi kebutuhan bagi setiap pelaku bisnis untuk mengimplementasikan pada aktivitas operasional sehari-hari (day to day operation).
Auditor internal dapat berperan dalam mendorong terwujudnya GCG di perusahaan. Beberapa hal yang perlu mendapat dukungan penuh dari auditor internal, misalnya :
• Mendorong transparansi (transparency) dan integritas (integrity) dalam pelaporan keuangan (financial reporting) perusahaan.
• Mendorong akuntabilitas (accountability) dalam pengelolaan aset perusahaan.
• Mendorong pertanggungjawaban (responsibility) perusahaan kepada public melalui Corporate Social Responsibility /CSR, Community Development atau Program Kemitraan & Bina Lingkungan (PKBL).
• Mendorong independensi (independency) perusahaan terhadap pihak-pihak terkait, termasuk pemegang saham minoritas.
• Mendorong kewajaran (fairness) dalam pengadaan barang & jasa termasuk dipastikannya tidak ada pelanggaran terhadap UU anti monopoli & persaingan usaha yang sehat.
2. Melaksanakan audit yang bernilai tambah dengan pendekatan audit berbasiskan risiko.
Dalam rangka menghadapi KFG yang saat ini masih berlangsung, maka auditor internal hendaknya dapat melaksanakan audit yang bernilai tambah (value added internal auditing/VAIA) dengan pendekatan audit berbasis risiko (Risk Based Internal Auditing/RBIA). Auditor internal hendaknya dapat melakukan assesment atas Operational & quality effectiveness, Business risk., Business & process control, Process & business efficiencies, Cost reduction opportunities, Waste elimination opportunities, dan Corporate governance efectiveness.
Tujuan dari VAIA adalah agar auditor internal dapat :
• Memberikan analisis operasional secara obyektif & independen.
• Menguji berbagai fungsi, proses dan aktivitas suatu organisasi serta external value chain.
• Membantu organisasi dalam merancang strategi bisnis yang obyektif.
• Melakukan assesment secara sistematis dengan pendekatan multidisiplin.
• Melakukan evaluasi & menilai efektivitas risk management , control & governance processes.
Terdapat tiga aspek yang cukup penting dalam implementasi RBIA, yaitu penggunaan faktor risiko (risk factor) dalam audit planning, identifikasi independent risk & assesment dan partisipasi dalam inisiatif risk management & processes. Ruang lingkup RBIA termasuk dilakukannya identifikasi atas inherent business risks (IBR) dan control risk (CR) yang potensial. Mengingat data / informasi dari Divisi Manajemen Risiko (Risk Management) sangat membantu tugas auditor internal dalam pelaksanaan audit, maka perlu kerjasama dan sinergi antar kedua unit kerja tersebut. Departemen Audit Internal (Satuan Pengawasan Intern/SPI) dapat melakukan review secara periodik setiap tahun atas RBIA dikaitkan dengan audit plan. Manajemen puncak (Board of Director) dan Komite Audit (audit committee) dapat melakukan assessment atas kinerja (performance) dari RBIA untuk mengetahui realibilitas, keakuratan dan obyektivitasnya. Profil risiko (Risk profile) atas RBIA didokumentasikan dalam audit plan yang dibuat oleh Departemen Audit Internal. Risk profile tersebut dapat digunakan untuk melakukan evaluasi apakah metodologi risk assesment telah rasional dan up to date. Beberapa manfaat diimplementasikannya pendekatan RBIA antara lain dapat meningkatkan efisiensi dan efektivitas internal auditor dalam melakukan audit, sehingga secara tidak langsung dapat meningkatkan kinerjanya dan diharapkan dapat membantu manajemen dalam upaya meminimalisasi dampak KFG terhadap perusahaan.
3. Melaksanakan pencegahan, pendeteksian & penginvestigasian kecurangan.
Auditor internal berfungsi membantu manajemen dalam pencegahan (prevention), pendeteksian (detection) dan penginvestigasian (investigation) kecurangan (fraud) yang terjadi di suatu organisasi (perusahaan). Sesuai Interpretasi Standar Profesional Audit Internal (SPAI) – standar 120.2 tahun 2004, tentang pengetahuan mengenai kecurangan, dinyatakan bahwa auditor internal harus memiliki pengetahuan yang memadai untuk dapat mengenali, meneliti dan menguji adanya indikasi kecurangan. Selain itu, menurut Statement on Internal Auditing Standards (SIAS) No. 3, tentang Deterrence, Detection, Investigation, and Reporting of Fraud (1985), memberikan pedoman bagi auditor internal tentang bagaimana auditor internal melakukan pencegahan, pendeteksian dan penginvestigasian terhadap fraud. SIAS No. 3 tersebut juga menegaskan tanggung jawab auditor internal untuk membuat laporan audit tentang fraud.
Pencegahan Kecurangan
Salah satu cara yang paling efektif untuk mencegah timbulnya fraud adalah melalui peningkatan sistem pengendalian intern (internal control system) selain melalui struktur / mekanisme pengendalian intern. Dalam hal ini, yang paling bertanggung jawab atas pengendalian intern adalah pihak manajemen suatu organisasi. Dalam rangka pencegahan fraud, maka berbagai upaya harus dikerahkan untuk membuat para pelaku fraud tidak berani melakukan fraud. Apabila fraud terjadi, maka dampak (effect) yang timbul diharapkan dapat diminimalisir. Auditor internal bertanggungjawab untuk membantu pencegahan fraud dengan jalan melakukan pengujian (test) atas kecukupan dan kefektivan sistem pengendalian intern, dengan mengevaluasi seberapa jauh risiko yang potensial (potential risk) telah diidentifikasi.
Dalam pelaksanaan audit reguler (rutin), misalnya audit kinerja (performance audit), audit keuangan (financial audit) maupun audit operasional (operational audit), auditor internal harus mengidentifikasi adanya gejala kecurangan (fraud symptom) berupa red flag atau fraud indicator. Hal ini menjadi sangat penting, sehingga apabila terjadi fraud, maka memudahkan auditor internal melakukan audit investigasi.
Pendeteksian Kecurangan
Deteksi fraud mencakup identifikasi indikator-indikator kecurangan (fraud indicators) yang memerlukan tindaklanjut auditor internal untuk melakukan investigasi. Auditor internal perlu memiliki keahlian (skill) dan pengetahuan (knowledge) yang memadai dalam mengidentifikasi indikator terjadinya fraud. Auditor internal harus dapat mengetahui secara mendalam mengapa seseorang melakukan fraud termasuk penyebab fraud, jenis-jenis fraud, karakterisitik fraud, modus operandi (teknik-teknik) fraud yang biasa terjadi. Apabila diperlukan dapat menggunakan alat bantu (tool) berupa ilmu akuntansi forensik (forensic accounting) untuk memperoleh bukti audit (audit evidence) yang kuat dan valid. Forensic accounting merupakan suatu integrasi dari akuntansi (accounting), teknologi informasi (information technology) dan keahlian investigasi ( investigation skill).
Penginvestigasian Kecurangan
Investigasi merupakan pelaksanaan prosedur lebih lanjut bagi auditor internal untuk mendapatkan keyakinan yang memadai (reasonable assurance) apakah fraud yang telah dapat diidentifikasi tersebut memang benar-benar terjadi. Pelaksanaan audit investigasi mengikuti work instruction serta ketentuan yang telah ditetapkan oleh Standar Profesi Audit Internal maupun organisasi Institute of Internal Auditor (IIA).
sistem informasi akuntansi merupakan perpaduan dari sistem informasi akuntansi keuangan dan sistem informasi akuntansi manajemen. Azhar (2002:112) mengungkapkan bahwa: “sistem informasi akuntansi adalah kumpulan dari sub-sub sistem yang saling berhubungan satu dengan yang lainnya dan bekerjasama secara harmonis untuk mengolah data keuangan menjadi informasi keuangan yang diperoleh manajemen dalam proses pengambilan keputusan dibidang keuangan”. Sistem informasi akuntansi keuangan menghasilkan informasi tentang prestasi perusahaan untuk digunakan oleh pihak internal dan eksternal perusahaan. Biasanya informasi ini disajikan dalam bentuk neraca, laporan laba rugi, dan laporan arus kas. Laporan keuangan tersebut harus berdasarkan prinsip-prinsip akuntansi yang diterima secara umum (generally accepted accounting principles/ GAAP) atau di Indonesia dikenal sebagai Standar Akuntansi Keuangan (SAK). Sedangkan sistem informasi akuntansi manajemen selain menghasilkan informasi keuangan, juga menghasilkan laporan-laporan, dan analisis-analisis yang lain, yang disusun sesuai dengan kebutuhan internal perusahaan. Sistem informasi akuntansi manajemen ini tidak dibatasi oleh SAK.
Setiap sistem, termasuk sistem informasi akuntansi, memiliki tujuan untuk meningkatkan efisiensi, efektivitas, serta pengendalian operasi. Pengendalian di dalam suatu perusahaan dikenal dengan pengendalian internal.
Agar pihak manajemen perusahaan mempunyai keyakinan yang memadai bahwa pengendalian internal perusahaan telah berjalan efektif dan efisien sebagaimana mestinya, maka perlu dilakukan suatu penilaian dan evaluasi yang dikenal dengan kegiatan pemeriksaan (audit). Melalui audit, internal audit akan memberikan konsultasi internal sebagai nilai tambah (added value) atau masukan bagi manajemen. Internal audit akan memberi jaminan bahwa pengendalian perusahaan telah berjalan dengan sebagaimana mestinya, menjelaskan mengapa pengendalian internal tidak berjalan, memaparkan risiko-risiko apa saja yang akan dihadapi perusahaan jika pengendalian tidak berjalan, serta memberikan usulan perbaikan.
Audit dalam lingkungan sistem informasi akuntansi dikenal dengan audit sistem informasi (atau juga disebut computer audit atau information technology audit).
Di lingkungan sistem informasi akuntansi berbasis komputer terdapat dua jenis pengendalian internal, yaitu pengendalian umum (general control) dan pengendalian aplikasi (application control). Arens dkk. (2003:312), mengemukakan bahwa: “Pengendalian umum adalah pengendalian atas segala aktivitas dan sumber daya yang dipakai dalam pengembangan suatu sistem informasi, pelaksanaan proses dan fungsi-fungsi pendukung lainnya. Adapun pengendalian umum terdiri dari: pengendalian organisasi dan operasi, pengendalian pengembangan dan dokumentasi sistem, pengendalian hardware, dan pengendalian akses hardware serta data. Pengendalian aplikasi adalah pengendalian atas suatu aplikasi tertentu untuk menjamin bahwa seluruh transaksi telah terotorisasi, direkam dan diproses secara lengkap, akurat, dan tepat waktu, yang meliputi pengendalian input, proses, dan output”.
Dalam pengendalian internal di lingkungan sistem informasi akuntansi berbasis komputer terdapat suatu komponen yang penting, yaitu audit trail. McLeod dan Schell (2001:221) mengemukakan bahwa: “Salah satu komponen yang penting dalam Pengendalian internal pada sistem informasi akuntansi adalah audit trail. Audit trail adalah suatu kronologis transaksi yang dapat ditelusuri dari akhir ke awal transaksi tersebut dimulai dan sebaliknya”.
Dengan adanya pengendalian umum yang memadai, maka sistem informasi akuntansi dapat dirancang dan dibangun dengan suatu fasilitas audit trail yang memadai pula. Demikian pula dengan pengendalian aplikasi, suatu pengendalian aplikasi yang baik akan menyediakan fasilitas audit trail yang baik serta akan memberikan jaminan kelengkapan (completeness), keakuratan (accuracy), dan otorisasi (authorization) pada suatu transaksi.
Audit trail tidak hanya digunakan oleh auditor pada saat pemeriksaan untuk memperoleh bukti (evidances), koreksi kesalahan yang terdeteksi, serta rekonstruksi arsip, namun manajemen juga berkepentingan terhadap audit trail. Porter dan Perry (1992:204) mengungkapkan bahwa: “Audit trail membantu manajemen untuk menanggapi pertanyaan-pertanyaan dari pelanggan, pemasok, dan pemerintah atas status pembayaran, pengiriman, dan perpajakan”. Hal senada juga diungkapkan oleh Kell dkk. (2001:325), yaitu: “Penting bagi manajemen untuk memiliki keyakinan bahwa sistem informasi akuntansi perusahaan telah memiliki fasilitas audit trail yang memadai atas semua transaksi dan investigasi dalam sistem informasi akuntansi, baik pada sistem informasi akuntansi manual terlebih lagi untuk sistem informasi akuntansi berbasis komputer”.
Dalam sistem informasi akuntansi manual, audit trail meliputi dokumen sumber, jurnal, buku besar, kertas kerja, dan catatan lain. Sedangkan dalam sistem informasi akuntansi berbasis komputer audit trail berupa log dan listing yang mencatat semua usaha dalam menggunakan sistem yang biasanya mencatat antara lain: tanggal dan waktu, kode yang digunakan, tipe akses, aplikasi dan data yang digunakan. Kualitas pengendalian internal pada sistem informasi akuntansi berpengaruh terhadap keandalan audit trail dalam sistem informasi”.
Besarnya sampel untuk mengadakan estimasi terhadap populasi harus diperhatikan dalam melaksanakan survai sampel. Terlalu besar berarti pemborosan tenaga dan uang, sedangkan sampel yang terlalu kecil dapat menjurus kepada besarnya error”. Maka, metode pengambilan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode simple random sampling, yang menurut Masri dan Sofian (1989:155), adalah: “Sebuah sampel yang diambil sedemikian rupa sehingga tiap unit penelitian atau elementer dari populasi mempunyai kesempatan yang sama untuk dipilih”.
Populasi BUMN persero di kota Bandung adalah 26 perusahaan, yang beroperasi dibidang usahanya masing-masing. Sehingga, dengan menggunakan metode pengambilan data simple random sampling, dari populasi 26 BUMN persero akan didapatkan hasil 20,8 ≈ 21 sampel yang mewakili populasi.
pengaruh kualitas pengendalian internal pada sistem informasi akuntansi terhadap keandalan audit trail dalam sistem informasi bagi auditor internal pada 21 BUMN persero di kota Bandung yang telah menerapkan audit trail dalam sistem informasinya.
BAB III
KESIMPULAN
Kesimpulan
1. Dalam rangka menghadapi KFG , auditor internal tidak hanya berpangku tangan saja menjadi penonton, namun diharapkan turut serta secara aktif berperan sebagai Internal Consultant dan membantu manajemen untuk mendorong terwujudnya GCG di perusahaan secara efektif.
2. Auditor internal juga diharapkan dapat meminimalisasi dampak KFG, melalui pelaksanaan audit yang bernilai tambah dengan pendekatan audit berbasis risiko.
3. Mengingat kecurangan (fraud) dapat terjadi kapan saja dan di mana saja, maka auditor internal diharapkan dapat melaksanakan pencegahan, pendeteksian dan penginvestigasian fraud.
4. Populasi BUMN persero di kota Bandung adalah 26 perusahaan, yang beroperasi dibidang usahanya masing-masing. Sehingga, dengan menggunakan metode pengambilan data simple random sampling, dari populasi 26 BUMN persero akan didapatkan hasil 20,8 ≈ 21 sampel yang mewakili populasi.
5. Auditor internal maupun auditor independen bertanggung jawab untuk melakukan pencegahan (prevention), pendeteksian (detection) serta penginvestigasian (investigation) terhadap computer fraud.
DAFTAR PUSTAKA
http://one.indoskripsi.com/node/5165
http://www.scribd.com/doc/11451693/14-Auditing
www.edcmucglobal.com
http://www.fraud-magazine.com
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar